Cari Blog Ini

Kamis, 25 Maret 2010

Perjalanan Hidup Mika






“Windy. Kau tahu tidak? Semalam aku tidur nyenyak sekali,” Mika berbicara kepada merpati yang bertengger di lengan kanannya. Ia membalasnya dengan ‘kru’ lembut. Gadis belia berusia 14 tahun ini sedang di teras lantai dua menikmati udara pagi.

“Mika!” panggil seorang wanita berusia hampir setengah baya.

“Iya, Bu?”, gadis lemah gemulai ini mendekati ibu angkatnya.

“Ada yang ingin bertemu denganmu, sayang.”

“Oh? Siapa, Bu?”

“Nanti kamu juga tahu. Mari ikut ibu.”

Mika meninggalkan merpatinya di teras, lalu berjalan bersama ibu yang akrab dipanggil Mira. Sejak bayi, orang tua Mika mempercayakan Mika kepada Pak Rian dan Ibu Mira. Disebabkan oleh Ibu Mira menderita kemandulan. Ibu Mira adalah sepupu dari ibu kandung Mika. Kedua orang tua angkat itu menyayangi Mika seperti anak sendiri, begitu pula Mika terhadap mereka.

Sejak lahir, Mika sudah sering sakit-sakitan. Sehingga ibu kandungnya harus mengeluarkan biaya pengobatannya yang tidak sedikit tiap bulannya. Karena itulah, Mika selalu berjuang untuk sembuh. Ia yakin kalau dia pasti sembuh.

Mika melihat anak laki-laki seumuran dengannya dan seorang ibu sedang duduk di sofa ruang tamu. Ibu cantik itu nampak lebih muda dari ibu angkatnya dengan perawakan feminin.

“Mama,” sapa Mika lembut.

“Halo…,”, Mika menyapa anak laki-laki dengan dandanan rapi, tubuh tegap, berkulit putih dan rambut coklat bercampur hitam. Dia membalas sapaan Mika. Ibu kandung Mika dan anaknya berdiri dari sofa.

“Mika, ini saudara kembarmu, namanya Alvond. Dia sangat ingin bertemu denganmu, sayang,” kata mamanya ramah.

“Oya? Senang sekali bisa bertemu denganmu, Alvond,” nada Mika menjadi riang sekali.

“Iya. Aku juga.” Alvond tersenyum ramah.

“Ibu, aku mengajaknya ke teras, ya?”

“Silahkan,” jawab singkat ibu angkatnya.

“Terima kasih.” Mika menggandeng tangan saudaranya menuju ke teras.

“Wah… Mika dan Alvond kelihatan gembira.”, ujar sang mama sambil memperhatikan kedua anaknya menuju teras.

“Iya. Nampaknya mereka langsung akrab,” imbuh Ibu Mira.

“Alvond, ini Windy. Tadi aku meninggalkannya di sini.”, kata Mika seraya memberi aba-aba merpatinya agar berdiri di tangannya.

“Wah… dia lucu sekali.”, Alvond mengelus kepala Windy.

“Iya. Ibu membelikannya supaya aku tidak kesepian. Awalnya aku ingin melepasnya. Soalnya, aku tak tega melihatnya terkekang di sangkarnya. Bukannya pergi jauh malah menemaniku sampai sekarang. Hahaha,” terang Mika.

“Wuah… Windy tahu kalau kamu orang baik.”

“Ah… bisa saja kamu ini.” Mika tersipu-sipu.

“Oh ya! Ngomong-ngomong wajah kita tidak mirip, ya?” ujar Mika setelah membandingkan wajahnya dengan jendela kaca sebagai cerminnya.

“Iya, ya?”, Alvond juga memandang jendela kaca dan wajah Mika secara bergantian.

“Tapi, kata mama kalau kamu sakit, tak lama kemudian aku juga sakit. Itu salah satu hal umum bagi anak kembar,” lanjut Alvond. Mika membalas Alvond dengan senyuman ramah.

“Aku membawa biola loh. Maukah kamu mendengar permainanku?” tawar Alvond.

“Mau, mau!”, sahut Mika bersemangat.

Alvond bergegas mengambil biolanya di ruang tamu. Ia memainkan beberapa lagu yang pernah diajarkan ayahnya di hadapan Mika. Aura wajah Mika memancarkan kekaguman. Dia memuji-muji saudaranya seusai mendawai biola.

“Mika… kamu juga hebat. Aku dengar dari Mama, kamu selalu bersemangat belajar dengan guru privatmu, ya? Tahu tidak? Teman-teman sekolahku, semuanya bertubuh sehat, tetapi banyak yang malas-malasan, bahkan ada loh yang tidur saat guru menerangkan pelajaran.” Alvond bermaksud memuji Mika.

“Benarkah?” Mika menampilkan ekspresi heran. ”Ah… Aku hanya berusaha semampuku saja,” lanjut Mika dengan senyum dikulum.

“Menurutku kamu luar biasa. Aku akan selalu mendukungmu. Ingat itu, ya?” Alvond menyemangatinya.

“Terima kasih, ya? Aku bangga punya saudara sepertimu,” mata Mika jadi berbinar-binar.

“Jangan sungkan! Kita kan saudara,” tutur Alvond lembut.

Tak lama kemudian, Mama dan Alvond pamit, karena harus kembali ke negaranya dengan pesawat sore. Alvond harus sekolah besok.

Mika bersama Bu Mira mengantar mereka sampai di pintu depan. Tampak sebuah sedan hitam mengkilap sudah siap untuk ditumpangi.

“Kami pulang dulu. Mika baik-baik di sini, ya?” pamit Mama sambil mengelus rambut putri kandungnya.

“Iya, Ma.”, Mika mengangguk pelan.

“Mika… kalau ada apa-apa jangan segan-segan menghubungiku, ya? Aku selalu ada untukmu.” Alvond tahu kalau saudaranya enggan berpisah dengannya, sama seperti dirinya.

“Pasti! Kamu juga, ya?”, Mika mengacungkan jari kelingkingnya. Alvond mengaitkan jari kelingkingnya pada Mika.

“Iya. Aku janji,” tegas Alvond. Dia memeluk Mika. Kejadian ini membuat kedua ibu mereka terharu.

“Ya sudah. Jaga diri, ya? Tetap semangat!” kata Alvond berapi-api sambil mengepalkan tangan kanannya.

“Iya.” Mika mengangguk kuat.

Mama dan Alvond berpamitan pada Bu Mira. Kemudian masuk ke mobil.

“Daah… Mika!!” Alvond melambai dibalik jendela mobil dengan suara keras.

“Daah… kalian hati-hati, ya?” teriak Mika riang sambil melambai.

“Ya!” jawab mama dan Alvond. Mika masuk ke rumah disusul oleh Ibu Mira setelah sedan tersebut lenyap dari pandangan.

Jarak jauh antara Mika dan Alvond, bukan penghalang untuk mengakrabkan mereka. Apalagi teknologi dalam berkomunikasi makin maju. Namun, pada suatu hari Mika didapati menderita leukemia.

“Windy… tadi siang hasil ‘check up’ menuliskan bahwa aku positif leukemia.” Mika sedang bersandar di jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Windy berdiri di lengan Mika.

“Tapi, aku bersyukur. Orang-orang yang kukasihi selalu di sisiku. Aku merasa beruntung sekali. Mama bilang, akan berupaya mencari dokter terbaik demi kesembuhanku. Jujur saja, aku ingin sekali berprestasi seperti Alvond. Makanya, kalau sembuh nanti aku ingin bersaing dengannya di sekolah. Dan aku akan ceramahi teman-temannya yang pemalas,” tutur Mika polos.

“Bagiku Alvond juga bagian dalam hidupku. Karena kita kembar, kita bisa saling kontak dalam hal tertentu. Sebagian dari impianku, aku percayakan padanya. Soalnya aku belum sebebas dia, sih. Ini rahasia loh… jangan beritahu siapa-siapa, ya?” Mika mendekatkan wajahnya ke Windy.

“Eh! Ada bintang jatuh! Cepat ajukan permohonan!” Mika tersentak ketika melihat suatu percikan berbentuk garis.

“Lindungilah Alvond dalam tiap langkahnya!” ucap Mika spontan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar