Cari Blog Ini

Kamis, 25 Maret 2010

Tiga Senjata Istimewa






Mentari baru saja menyembul di langit yang memerah. Udara pagi terasa wangi bersatu dengan kelopak mawar yang pagi ini mekar. Awal usiaku yang ke-22 mulai menantiku. Usiaku bertambah lagi dan aku menjadi kian dewasa. Sejenak kuhening dan kupinta Tuhan untuk memberkatiku di usia baru ini.

“Mat ulang tahun Sayang,” Mama memasuki kamarku dan menciumi kening dan kedua pipiku.

“Semoga jadi anak baik, yah”.

“Pasti, Ma. Doakan aku yah, Ma,” pintaku dengan manja.

Natalia, adik bungsuku berlari masuk dan segera memelukku. Usianya masih sepuluh tahun namun dia selalu bertingkah seperti orang dewasa.

“Semoga cepat dapat jodoh, yah,” katanya.

“Jangan, jangan sekarang,” tiba-tiba Papa muncul di pintu kamarku. Wajahnya cemberut.

“Jangan dapat jodoh sekarang, belum tamat kuliah”, kata Papa seraya menciumi keningku.

Aku tertawa. Ciuman untuk anggota keluarga yang berulang tahun sudah menjadi tradisi keluarga kami. Ini awal yang menggembirakan di usiaku yang ke-22, pikirku. Namun keindahan ini hanya sesaat terasa. Kehancuran perlahan-lahan menyelinap sekitar pukul 16.00 sore itu.

“Mat sore semuanya, masak apa Ma hari ini?” tanyaku ketika tiba di rumah. Kulirik jam dinding, tepat pukul 16.00. Perutku berontak karena dari pagi tak terisi. Papa dan Mamaku terdiam. Salam dan tanyaku tak dibalas. Memandang padaku saja tidak. Wajah keduanya begitu asing. Aku jadi tak enak hati.

“Nona, duduk sekarang!” suara mamaku terdengar memerintah. Aku biasa dipanggil dengan sebutan ‘Nona’ di rumah. Aku patuh. Pasti ada hal penting yang harus dibicarakan. Kuambil tempat yang berhadapan dengan Papa dan Mama. Wajah keduanya begitu dingin, sangat tidak bersahabat. Batinku menggigil. Ada apa ini?.

“Dari mana saja, sudah sore begini baru pulang?” tanya Mama.

“Ada tugas yang harus dikerjakan, Ma”, jawabku pendek.

Aku tahu sudah hampir seminggu ini kusibuk dengan buku-buku perpustakaan. Proposal penelitianku sudah disetujui, harus kurampungkan secepatnya. Tapi ini menjadi rahasia pribadiku.

“Tapi Yoni sudah pulang sejak siang tadi, sekitar jam satu,” kudengar suara Mama terasa berat.

Aku terdiam. Batinku mengatakan sedikit lagi pertengkaran akan dimulai dan Yoni yang akan selalu menjadi pahlawan. Hmmhh! Kutarik nafas panjang. Yoni. Dia temanku di Fakultas Hukum, hanya beda jurusan denganku. Hampir setiap hari mamanya ke rumahku dan menceritakan semua kebaikan Yoni untuk dibandingkannya denganku. Hasilnya? Aku tak akan pernah baik di mata mamanya, di mata Papa dan di mata Mamaku. Pernah aku merasa bahwa lebih baik Yoni menjadi anak mereka menggantikan posisiku. Aku merasa diasingkan dalam keluargaku sendiri, merasa menjadi orang lain di antara orang-orang yang bertalian darah denganku.

“Yoni cerita, dia dapat beasiswa dari kampus. Kamu?” kata-kata Mama terdengar menyelidik.

“Kata dosen tadi, masih diproses. Belum ada nama-nama yang tertera,” jawabku jujur.

“Kata Yoni kamu tak dapat, kamu kurang ‘familier’ dengan dosen kamu dan pegawai di bagian administrasi,” mamaku berkata menghakimi.

Aku memandangi mereka. Hebat juga Yoni, berhasil membuat Papa dan Mama murka padaku. Padahal baru siang tadi aku menghadap Pembantu Dekan III yang menangani kemahasiswaan dan beliau berkata sebulan lagi baru proses seleksi dilakukan.

“Ma, aku mau ke kamar sekarang. Ada tugas yang harus dikumpul besok,” kataku seraya beranjak dari tempat duduk.

“Duduk Nona!” Kali ini Papaku angkat bicara. Kasar. Dadaku terasa sesak. Ada apa lagi ini?

“Kamu pindah agama?” tanya Papa.

“Apa?” tanyaku tak percaya.

Pindah agama? Aku tak salah dengar? Gila, pertanyaan apa ini? Batinku mencari tahu. Kuambil posisi duduk seperti tadi. Ini harus diselesaikan.

“Pindah agama, maksudnya apa, Pa?” tanyaku benar-benar tidak paham.

“Kata Yoni, kamu akrab dengan dosenmu yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media dengan ajaran agamanya,” Papaku memandang tajam padaku.

“Lalu, ada yang salah?” tanyaku lagi.

“Jaga pergaulanmu. Pergi pagi pulang malam tak ada kabar. Apa yang kamu buat di luar sana?” suara Papa melengking. Gemuruh memenuhi dadaku.

“Cukup Pa, aku memang akrab dengan semua dosenku, dan dosen yang Papa maksud tak pernah mengajarkan hal buruk padaku,” nada bicaraku jadi naik.

“Kenapa kamu tak seperti Yoni?” tanya Papaku.

Aku tak menjawab. Tetesan dingin memenuhi kelopak mataku. Aku tak boleh menangis di depan mereka. Kutinggalkan Papa dan Mamaku yang tengah memuji Yoni. Tetesan dingin itu membasahi tempat tidurku. Tuhan, apakah ini ujian untukku?

Mengapa Yoni suka sekali mengontaminasi pikiran orang tuaku? Mengapa mereka selalu mau aku menjadi Yoni? Aku tahu bahwa Yoni selalu iri padaku, selalu marah jika ada dosen yang lebih mempercayaiku dan bersahabat denganku.

Lalu tentang pindah agama? Ah, yang ini sudah sangat keterlaluan. Pindah agama tak segampang mengganti baju, begitu bosan bisa dilepas. Tuhan, tolong aku. Mengapa aku sedikitpun tak pernah dipercayai? Perlahan kuambil selembar kertas dan kutuliskan satu kalimat di sana. Kusimpan kertas itu dalam Kitab Suciku. Usiaku yang ke-22 menyisakan sakit hati, karena tidak dipercayai sebagai seorang anak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar